Eddy J. Soetopo
Setelah jingkrak-jingkrak bermandi keringat, tak lama berselang remaja itu mengelepar di lantai sebuah pusat mainan anak di Solo Grand Mall. Sekelompok anak muda baru gede –sebut ABG– justru tertawa terbahak-bahak melihat rekannya tumbang di samping mesin musik-komputer besar. Kesurupankah? Jangan salah sangka, mereka bukan kesambet –istilah Betawi Kesurupan– cuma kelelahan. Kekawatiran kesambet bisa dimaklumi, sebab saat ini fenomena berajojing seperti itu lagi ngetrend. Anak sekolah kesambet alias kesurupan di mall.
Trend kesurupan pelajar SMA di beberapa daerah tentu berbeda dengan sekelompok ABG yang ngegelesot di lantai discotik terbuka. Kalau anak sekolah yang sedang kesurupan, konon kabarnya diganggu oleh ruh halus. Sedangkan ABG yang ngegelesot di lantai discotik terbuka itu kelelahan akibat berjoget kelewat batas di hadapan layar monitor mesin berbasis musik terprogram buatan Jepang dinamai pump-up machine.
Jadi jangan heran bila Anda memergoki sekelompok ABG setelah berjingkrak-jingkrak kesetanan, kemudian sempoyongan dan jatuh sendiri karena kelelahan. Pasalnya irama jenis musik mesin diskotik terbuka dapat distel sesuka hati si pedisko. Mau musik bergenre disko ritme cepat bisa, mau mencoba memutar jenis musik sedang pun tidak menolak.
”Semua bisa diatur sesuai dengan orang yang akan turun ke arena lantai disctika,” kata Iqbal remaja 23 tahun bertindik anting di lidahnya. “Buat anak yang baru mencoba disticka –disctika terbuka, akronim ABG– mungkin baru 2 menit dapat dipastikan harus memasukkan koin baru. Tapi kalau yang sudah bertahun-tahun blingsatan di lantai disctika bisa 6 menitan.” Itu dulu sebelum pandemi Covid19.
Itulah sebabnya ABG yang sering ‘kesurupan’ di lantai disctika di mall-mall tidak banyak mengeluarkan coin memperpanjang waktu buat berdiscoria di lantai terbuka. Wal hasil pusat permainan anak-anak di mall saat ini bukan lagi ditandangi anak yang masik duduk di bangku SD atau balita bermain mobil-mobilan, tapi lebih banyak disatroni segerombolan ABG.
Maklum saja pusat permainan seperti Time Zone, selain menyediakan mainan bagi anak SD atau balita juga menyediakan area bermain bagi ABG yang getol-getolnya menguras kocek orang-tuanya, seperti pump-up machine atau sering disingkat pump-macht.
Merangseknya pump-up membuat banyak ABG kecanduan berjingkrak-jingkrak layaknya orang kesurupan, sebenarnya bukanlah hal baru. Pump-up machine melabrak mall sejak tahun 2000-an ke hampir seluruh mall di pelosok kota besar di Indonesia. Perkembangan mesin diskotik terbuka itu bukan hanya marak di ibukota propinsi, tetapi telah pula bercokol di ibukota kabupaten. Lihat saja, di mall-mall di ibukota kabupaten, Kediri dan Klaten misalnya, selain menyediakan pelbagai permainan anak, juga bertengger mesin penghasil puluhan juta seminggu kala itu.
Lihat saja pengunjung berdesak-desakan memadati area diskotek terbuka asal negeri Samurai yang didatangkan pebisnis mainan anak. Mereka rela berjam-jam ngantri nunggu giliran ngedisco. Jangan dibayangkan panggung yang dimaksudkan berpenerang lampu discotik menyoroti seluruh ruangan dipenuhi udara pengab asap rokok.
Panggung yang satu ini justru sebaliknya, berukuran 3×5 meter. Selain itu panggung disctika pump-mach juga tidak memerlukan lampu sorot bervoltase besar dan saund system berdentam-dentam memekakkan telinga. Para pengunjung pun bisa memilih lagu favorit kesukaannya. Meski seluruh judul lagu yang ditawarkan, melalui program komputer, semuanya berbahasa Jepang, toh pengunjung tidak mempedulikan hal itu. ”Judul lagu dan bahasa yang digunakan tidak penting. Pokoknya enjoy aja, sampai ’tenggen’ (bahasa pengguna sakow alias pemakai obat terlarang),” ujar Iqbal ketika ditemui di Solo Grand Mall, Sabtu [27/2].
Meski Iqbal sering bertandang menjelajah hampir seluruh disctika se Jawa, ia tidak pernah merasa kapok uangnya diporotin mesin perampok fulus dari keluarganya. Padahal, papar Iqbal, untuk dapat berdiri di hadapan mesin-nyanyi –istilah ABG lain menyebut disctika– ia rela merogoh kantong Rp.20-30 ribuan. ”Sekali main saya bisa menghabiskan coin senilai Rp.15000. Pada hal biar keluar keringat sampai tengen, perlu dua kali manggung. Lumayan sih sejak tahun 2001-an saya sudah ketagihan. Kalau dihitung-hitung pengeluaran bisa sampai jutaan,” papar Iqbal lulusan SMA setahun lalu.
Mesin pintar yang dapat bersuara dari tahun ke tahun tidak ada perubahan, menurut Iqbal justru memberi keuntungan bagi dirinya. Sebab, papar Iqbal lebih lanjut, hampir lebih separuh judul lagu berbahasa Jepang yang diputar di mesin pendendang di mall Solo, Semarang dan Jogyakarta, dia hafal semuanya. Tak mengherankan bila ia pun pernah menyabet gelar juara ke-II kompetisi jingkrak-jingkrak gaya ABG se-Jawa Tengah.
”Hadiahnya lumayan dapat uang besar dan piala,” katanya seraya mengusap keringat. ”Kalau dihitung dengan uang yang telah dikeluarkan, enggak memadahi. Tapi senang diakui.”
Lain pengalaman Iqbal lain pula cerita Novi, 14, pelajar sebuah Sekolah Menengah Pertama di Kediri. Menurutnya disctika membuatnya kecanduan berajojing ditempat terbuka. Meskipun pump-up disctika membuat Novi kecanduan, kata pelajar SMP kelas 2 berjilbab itu, tetapi ia tidak merasa terganggu pelajarannya.
”Kalau hanya seminggu sekali ’kan tidak apa-apa toh. Enggak ada ngaruhnya dengan pelajaran koq. Belajar-belajar; disco-disco. Apa susahnya. Salahnya, kalau keserimpet antara kaki satu dengan kaki yang lain. Dulu temanku baru belajar pernah terjatuh, kakinya keserimpet. Guabruk, terus diketawain temannya. Malu-maluin aja. Enggak apa-apa’kan?”
Enggak. Asal tidak keserimpet kasus korupsi, kalau udah besar nanti. Ocre deh kakak.