TERASJATENG.ID– Naskah final Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja masih ‘berkabut’ saat paripurna DPR mengesahkannya pada pada Senin, 5 Oktober 2020. Saat RUU itu disahkan menjadi UU, para anggota DPR RI yang hadir langsung maupun secara daring belum menerima draf akhir RUU Cipta Kerja.
Sejumlah politikus Senayan yang hadir dalam rapat paripurna dan diwawancarai Majalah Tempo sepanjang pekan lalu, mengaku belum menerima salinan aturan itu saat UU Cipta Kerja diketok. Lazimnya, draf final diberikan ketika anggota menandatangani daftar hadir sebelum masuk ke ruang sidang.
“Undang-undang ini seperti operasi caesar, terbit sebelum waktunya,” ujar anggota Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 10 Oktober 2020.
Dalam rapat yang juga digelar daring itu, naskah final pun tak dibagikan secara online. Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, mengatakan dokumen undang-undang masih dirapikan untuk menghindari salah ketik. Firman mengklaim penyuntingan konten undang-undang setelah pengesahan di rapat paripurna bukan suatu pelanggaran.
Pada 7 Oktober lalu, misalnya, Badan Legislasi DPR RI masih bekerja merevisi pasal demi pasal UU Cipta Kerja yang disahkan dua hari lalu. Di ruang Baleg Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, sedikitnya sepuluh orang duduk berpencar dan tiga monitor jumbo di dinding menampilkan pasal-pasal UU Cipta Kerja.
Seorang operator menggulirkan halaman demi halaman aturan baru itu. Tiba di pasal 253 soal revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, petugas menghapus kata “heliport” di belakang frasa “tempat pendaratan dan lepas landas helikopter”.
Kepala Biro Hukum,Persidangan, dan Hubungan Masyarakat Kementerian Koordinator Perekonomian I Ktut Hadi Priatna, yang hadir dalam rapat malam itu, mengaku mengundang ahli bahasa untuk mengecek ejaan dan tanda baca.
“Kami tak mungkin mengubah substansi karena sudah diketok di rapat paripurna,” kata Ktut ketika dihubungi pada Kamis, 8 Oktober lalu.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menilai tindakan merapikan naskah undang-undang setelah pengesahan mengindikasikan adanya cacat formil.
Menurut dia, penyuntingan sekecil apa pun berpotensi mengubah makna peraturan.
“Skandal terparah dan terbesar dalam pembentukan undang-undang,” ujarnya.
>> Baca edisi lengkapnya di Majalah Tempo: “Operasi Caesar Omnibus.”