Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila
Judul di atas aslinya adalah dari Bahasa Jawa “Wareg ngantuk, ngelih ngamuk“. Artinya: apa saja yang sudah kesampaian hasratnya biasanya akan lupa dengan janji atau ikrar sebelum kesampaian maunya.
Kata cemoohan ini biasanya diucapkan kepada mereka yang telah memenangkan suatu pemilihan; dan kemudian lupa akan janji-janji yang pernah diikrarkan. Pada umumnya kedua kalimat di atas disandingkan dengan kalimat lain yang bertulis Yen seneng ojo umuk, yen rekoso rasah nggresulo. Arti harfiahnya: Kalau sedang senang jangan besar omong, kalau sedang kesulitan jangan mengeluh. Nggresulo sendiri lebih negatif dari sekadar sambat (mengeluh). Seolah nggresulo itu menyesali keadaan, tidak ikhlas menerima kenyataan.
Kenyang ngantuk, lapar ngamuk sebenarnya adalah tamsil kepada manusia jika mendapat kenikmatan lupa, jika mendapat kesulitan panik. Itu adalah sikap dasar dari semua mahluk , tidak terkeuali manusia. namun dalam kenyataan sehari hari sikap seperti ini justru dipertontonkan lebih menonjol oleh manusia, sadar atau tidak; sebenarnya kita meneguhkan perilaku mahluk lain kepada kita.
Peneguhan perilaku ini tidak memandang pangkat tinggi atau rendah, jenderal atau prajurit, cerdik pandai atau orang kebanyakan, raja atau rakyat jelata; jika tidak memiliki kesadaran akan keluhuran budi; maka perilaku itu akan ditampilkan; hanya yang membedakan adalah pada aspek metodologinya saja. Ada yang bersifat fulgar, ada yang bersifat samar. Namun tujuannya sama menghabiskan tanpa sisa segala sesuatu yang ada di mukanya.
Namun, jika kita telisik kebelakang, menggunakan ilmu bantu Psikologi Anak; ternyata perilaku dasar tadi memang sudah ada sejak manusia dalam gendongan Ibu. Ngantuk dan ngamuk adalah media yang dijadikan penyampaian ekspresi atau kehendak kepada orang lain, dalam hal ini orang tua, untuk memahami apa yang diinginkan atau dibutuhkan.
Perilaku balita ini seiring pendewasaan diri, lama kelamaan berubah cara menampilkannya. Tentu saja lagi lagi ini adalah masalah metodologi penyampaian. Adapun aspek dasarnya sebenarnya sama. Jadi bisa kita bangun asumsi makin dewasa seseorang, penyampaian kenyang ngantuk, lapar ngamuk; lebih diperhalus; walaupun tingkat kerakusannya mungkin berbanding terbalik. Hal ini dibuktikan dengan selalu tidak pernah kenyang pada orang dewasa. Akhirnya dengan segala macam cara dilakukan untuk memenuhi “kelaparan”-nya tadi.
Tidak pernah merasa kenyang; akhirnya tidak ngantuk ngantuk; dan lapar terusmenerus, sehingga ngamuk ngamuk terus. Akibatnya tidak bisa lagi membedakan yang haq dan yang batil. Milik orang atau milik sendiri; jadinya semua seolah punya sendiri; akibatnya membabibuta meringkus apa yang ada. Dengan kata lain tidak kenyang kenyak dengan tidak ngantuk ngantuk memiliki konsekwensi sama; yaitu menjadi rakus. Namun merasa kenyang terus sehingga tidur terus, juga sama bahayanya. Pada kondisi ini manusia tidak punya inisiatif, dan tidak siap untuk berubah karenanya tidak mau menerima perubahan. Demikian juga lapar terus sehingga marah terus; akibatnya sering gelap mata; tidak mampu membedakan mana yang boleh dan mana yang dilarang.
Oleh karena itu, agama mengajarkan “makanlah saat lapar, dan berhentilah sebelum kenyang”. Ini menunjukkan kita diharuskan menjaga keseimbangan diri, sehingga tetap berfikir jernih. Diteruskan pesan ini oleh para orang bijak yang mengatakan “lauk makan yang paling nikmat itu adalah lapar”. Berarti lauk pauk di meja makan itu tidak lebih adalah “asesoris nafsu” yang membuat kita lupa apa sebenarnya hakekat makan itu.
Pada tataran berpikir sufi, makan itu sebenarnya hak badan wadag atau fisik, sementara makanan batin tidak memerlukan makanan seperti yang kita kenal selama ini. Sebab, makanan batin itu adalah salah satu diantaranya kalam Ilahi atau segala sesuatu yang berbau keilahian. Berarti segala sesuatu yang suci atau bersih dari unsur dosa. Oleh karenanya, jika menginginkan jiwa yang bersih, semua asupan makanan yang bersifat fisik harus bersih. Bukan hanya bersih dari aspek real, akan tetapi jauh dari itu: dari cara mendapatkan, cara mengolah, cara memakannya harus bersih dari anasir yang membuat kotornya jiwa. Ada ajaraan sufi yang mengatakan bagaimana protes jiwa kepada raga, manakala yang makan raga, yang mempertanggungjawabkan jiwa atau sukma, kelak dipengandilan akherat.
Konon pada masa lalu orang orang suci bukan terlahir begitu saj, tetapi semenjak dalam kandungan sudah dibentuk dengan cara menjaga makan/minum, serta kebiasaan kebiasaan saleh yang dilakukan oleh Ibunda dengan membaca kalam Ilahi, serta kebiasaan kebiasaan lainnya yang bernapaskan keilahian. Bahkan makanan subhat (diragukan kesucian dan kebersihannya) tidak dimakan oleh sang ibu, sampai-sampai ucapan, tindakan atau perilaku sang ibu terjaga dari hal hal yang akan merusak kesucian sang janin.
Semoga kita tetap dapat menjaga diri dan selalu ingat kepada Sang Khalik agar terhindar dari perilaku kenyang ngantuk lapar ngamuk. Sebab, perilaku itu di samping perilaku balita, juga perilaku yang dekat dengan kezaliman; baik zalim pada orang lain maupun pada diri sendiri. ***