Koalisi Masyarakat Sipil: Pembubaran FPI Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD (tengah) didampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (kiri) dan Kapolri Jenderal Pol Idham Azis mengumumkan penghentian segala kegiatan Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Pemerintah melarang segala kegiatan FPI karena sejak 21 Juni 2019 secara de jure telah bubar sebagai ormas tetapi setelah itu FPI masih melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban, keamanan, dan hukum. - (ANTARA/HUMAS KEMENKO POLHUKAM)

TERASJATENG.ID — Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas sejumlah elemen masyarakat sipil menilai pembubaran Front Pembela Islam (FPI), Rabu (30/12/2020), bertentangan dengan prinsip negara hukum.

Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), LBH Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesa (PBHI),  Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET ),  Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),  Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Dalam keterangan tertulisnya Rabu malam, Koalosi Masyarakat Sipil menyatakan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI) bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat. SKB FPI tersebut, salah satunya, didasarkan pada UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU 16/2017 (selanjutnya disingkat UU Ormas) yang secara konseptual juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum.

“UU Ormas memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law),” tulis Koalisi Masyarakat Sipil.

Menurut Koalisi, setidaknya terdapat beberapa permasalahan dalam SKB tersebut. Pertama, pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai “organisasi yang tidak terdaftar”, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum.

Menurut Koalisi, penggunaan istilah de jure untuk menyatakan suatu organisasi bubar karena tidak terdaftar atau tidak memperpanjang SKT harus didasarkan pada dasar legalitas yang jelas. Namun kenyatannya, baik Putusan MK Nomor: 82/PUU-XI/2013 maupun UU Ormas tidak menentukan ataupun mengatur hal tersebut.

Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan: “Berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.”

Kedua, oleh karena FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT, maka pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum. Pasal 59 UU Ormas hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. UU Ormas tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut.

Menurut Koalisi, terhadap para anggota FPI yang selama ini melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundang-undangan—seperti penggunaan kekerasan dan sebagainya, penegak hukum seharusnya sejak awal menindak para pelaku dengan pasal-pasal dalam KUHP secara konsisten. Bukan justru melakukan pembiaran terhadap individu-individu yang melanggar dan menunggu pemerintah membubarkan organisasi FPI.

Selain itu, terkait larangan penggunaan simbol dan atribut FPI, Pasal 59 ayat (4) UU Ormas melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau organisasi terlarang. “Namun, UU Ormas sama sekali tidak memberikan definisi ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi terlarang. Artinya, secara de Facto dapat menimbulkan mispersepsi atau pemahaman yang rancu bagi masyarakat luas,” tulisnya.

Ketiga, SKB FPI menjadikan UU Ormas yang bermasalah secara konseptual sebagai dasar hukum. Sejak UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diubah dengan Perppu 2/2017 dan kemudian disahkan menjadi UU 16/2017, prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak lagi melalui mekanisme peradilan, tetapi hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah. Sejak perubahan tersebut, setidaknya sudah dua organisasi dibubarkan, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Perkumpulan ILUNI UI.

Penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan pelindungan hak-hak warga, dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat. Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi—termasuk berupa pembubaran—terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan. Hal ini mengingat bahwa, pada dasarnya, setiap kesalahan subjek hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di hadapan pengadilan sebelum subjek hukum tersebut dijatuhi sanksi.

Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi.

Ketentuan tersebut berpotensi disalahgunakan oleh siapapun yang menjadi penguasa untuk membungkam organisasi-organisasi warga—baik berbentuk perkumpulan, yayasan, maupun organisasi tidak berbadan hukum—yang dianggap terlalu kritis, bertentangan, atau memiliki pendapat berbeda dengan pemerintah. Hal ini menambah catatan, di mana dalam tahun terakhir, situasi dan kondisi demokrasi dinilai oleh banyak lembaga dan para akademisi terus menurun dan mengarah pada otoritarianisme baru.

Koalisi menyatakan, organisasi yang melakukan kekerasan, vigilantisme, provokasi kebencian, perlu diatasi untuk setiap tindakannya dengan tegas dan konsisten. Pembubaran seperti ini secara jangka panjang tidak efektif untuk mengatasi kekerasan sipil, provokasi kebencian, dsb, bahkan menggerogoti sendi-sendi demokrasi Indonesia. Mungkin justru akan membuat bom waktu .

Selain itu, ketiadaan mekanisme hukum, dalam hal ini proses pengadilan, akan memunculkan preseden dalam menindak organisasi-organisasi lain secara subjektif. Terlebih, tindakan yang diambil berangkat dari keputusan bersama enam kementerian yang apabila merunut pada rekam jejak pembubaran berbagai hal secara sepihak oleh negara, kerap memunculkan stigmatisasi pada individu atau kelompok tertentu yang kemudian mendapat tindakan sewenang-wenang. Contoh, pembubaran diskusi (Marxisme), penangkapan orang dengan kaus bertuliskan PKI (Pecinta Kopi Indonesia), hingga stigmatisasi dan persekusi terhadap kelompok LGBT.

Koalisi menyatakan, selama ini, berbagai organisasi masyarakat sipil turut mengecam berbagai kekerasan, provokasi kebencian, sweeping, serta pelanggaran-pelanggaran hukum lain yang dilakukan FPI. Berbagai organisasi tersebut juga meminta aparat penegak hukum serta negara melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum terhadap orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan tersebut. Kekerasan oleh siapa pun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum.

“Narasi yang menganjurkan kekerasan dan provokasi kebencian sebagaimana dipertontonkan organisasi seperti FPI selayaknya ditindak tegas tanpa mengabaikan prinsip negara hukum. Negara tidak boleh tunduk pada narasi kebencian. Namun di sisi lain, negara harus menegakkan prinsip kebebasan berserikat dan berorganisasi di negara hukum berlandaskan rule of law.”