Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Universitas Lampung
Saat menikmati hari libur sambil menyelesaikan naskah tulisan untuk media yang kita baca ini, piranti sosial berdenting; ternyata ada sahabat yang masuk bertanya, apa makna “maido” dalam bahasa Indonesia. Sebagai orang penikmat dan pemakai bahasa tentu ini tantangan tersendiri. Mulailah perburuan dilakukan dengan membuka semua sumber informasi. Ternyata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditemukan sebagai berikut: maido/ma·i·do/ Jw v mencela karena tidak percaya (perbuatan atau hasil pekerjaan orang lain).
Ignas Joko Waluyo pemerhati bahasa Indonesia lebih gamblang lagi menjelaskan sebagai berikut : Maido adalah bentuk aktif, sedangkan kata dasarnya adalah paido. Mirip bahasa indonesia, dalam bahasa Jawa pun terdapat kata awalan yang biasa disebut ater-ater. Untuk mengubah kata benda menjadi kata kerja, seperti “sangkal” diberi kata awalan “me-” akan berubah menjadi “menyangkal”. Demikian juga kata paido, karena huruf awalnya “p” atau “b”, maka awalan yang digunakan adalah “m” sehingga berubah menjadi “maido”. Maido artinya menyangkal atau tidak memercayai terhadap sesuatu yang disampaikan orang lain. Kata ini bersifat netral. Karena sesuatu yang disampaikan orang lain tersebut juga belum tentu kebenarannya, sehingga pantas untuk dipaido atau disangkal.
Begitu pendapat ini dilontarkan kepada teman media sosialseantero Indonesia; ternyata ada dua kutub ekstrem yang jika kita kelompokkan. Kutub pertama; mengatakan bahwa pekerjaan maido itu karena sudah tidak menjabat lagi, sehingga ada rasa dengki di dalam hati, maka semua pekerjaan orang lain yang menggantikanya dipersepsikan selalu salah, jelek, tidak bermutu. Mereka para pengganti tidak pandai bekerja, tidak seperti dirinya yang sukses dimasa kepemimpinannya. Kelompok ini merasa paling baik dan paling sukses, orang lain tidak seperti mereka. Model begini anak anak milenial menyebutnya halu, asal kata dari halusinasi.
Kutub kedua; mengatakan dipaido tiap hari saja masih salah, bagaimana kalau pekerjaannya tidak ada yang maido, bisa jadi makin berlarut kesalahannya. Kelompok ini merasa menjadi polisi untuk mengingatkan agar tidak terjadi kesalahan. Maido model bawel ini jika dilihat dari sisi positif, tidak ada salahnya; bahkan model kritik seperti ini diperlukan untuk menjaga organisasi atau apapun namanya; tetap pada jalur yang benar sesuai kesepakatan atau perundangan. Namun jika berfikir negative, tidak berbeda dengan kelompok pertama di atas.
Ternyata maido pada saat berada pada wilayah ontologibenar netral adanya; namun pada waktu ada pada posisi tujuan dan kegunaan, maka tergantung kepada siapa yang menggunakan dan untuk apa digunakan. Pada kedua wilayah disebut terakhirlah sering memunculkan sikap suka aau tidak suka. Padahal suka dan tidak itu ternyata hanya perbedaan persepsi atau sudut pandang. Di sini adagium Jawa sering dipakai yaitu.. “nggugu karepe dewe” (mengikuti kemauannya sendiri saja).
Oleh sebab itu, jika media massa sekarang banyak isinya orang maido, itu lumrah saja. Sebenarnya hal ini sudah ada sejak dulu, hanya karena masa lalu itu tidak ada media yang dijadikan media salur; maka tampaknya tenang tenang saja jika dilihat dari permukaan. Tinggal bagaimana kita menanggapinya, apakah kita akan terbawa perasaan, atau tetap jalan dengan tidak menghiraukan, atau juga memilih dan memilah informasinya, jika baik diikuti jika tidak sejalan ditinggalkan. Semua itu tergantung dari bagaimana kita menyikapinya.
Proses psikologis ini sebenarnya secara personal ada pada diri manusia; antara otak dan hati dalam perjalanannya sering saling maido. Tidak jarang otak berpendapat “ tinggalkan saja”, namun hati berpendapat “sabar dulu”. Atau juga dipaksa pergi oleh logika, tetapi disuruh bertahan oleh rasa. Dialog dialog batiniah ini adalah proses saling maido di dalam diri kita manusia, dan ini berlangsung sepanjang hidup kita, yang semua itu tanpa kita sadari.
Ternyata paido pada batas batas tertentu itu diperlukan untuk memandu perjalanan kita agar tetap ada pada jalur yang benar. Hanya saja karena takaran masing masing individu itu sangat berbeda; maka di sana kita harus melihatnya secara bijak. Jangan sampai maksud hati bekehendak baik, karena salah metoda penyampaian, berakibat menjadi kegagalan.
Namun perlu diingat sekalipun maido itu hak personal sebagai manusia, tidaklah kita menggunakan sembarangan termasuk maido Tuhan, karena semua ketetapan yang Tuhan berikan kepada manusia itu bersifat pasti, dan merupakan hak prerogratif Tuhan pada makhluknya. Mari di hari Arafah ini kita melakukan kontemplasi untuk mawas diri untuk menemukenali diri guna menyempurnakan perjalanan menuju kesempurnaan jati.